https://www.riaulapor.com


  • Copyright © riaulapor.com
    All Right Reserved.
    By : Aditya

    Dalam Kawasan Hutan, PETIR Minta Bupati Kuansing Tutup PKS di Muara Tiu

    Pabrik Mini Kelapa Sawit (PMKS) milik CV. Adifa Meka Hara diduga tanpa izin. Pabrik diketahui telah beroperasi di Desa Muara Tiu Makmur Kecamatan Pucuk Rantau, Kuansing - Dokumentasi DPN PETIR

    Pekanbaru, RiauLapor.com -- DPN PETIR mendesak Bupati Kuantan Singingi, Suhardiman Amby segera bertindak tegas terhadap aktivitas Pabrik Mini Kelapa Sawit (PMKS) milik CV. Adifa Meka Hara diduga tanpa izin. Pabrik diketahui telah beroperasi di Desa Muara Tiu Makmur Kecamatan Pucuk Rantau.

    Desakan ini dikemukakan oleh Ketua Umum PETIR, Jackson Sihombing yang mengaku gerah dengan dugaan pembiaran terhadap usaha ilegal. Ia mengungkap, lokasi pabrik berada dalam Kawasan Hutan Produksi yang dapat Dikonversi (HPK).

    "Patut diduga ada pembiaran. Sebab pabrik bisa beroperasi tanpa izin. Jelas ini melanggar peraturan perundang-undangan berlaku," ungkapnya.

    Jackson menyatakan, berdasarkan hasil pengecekan posisi titik koordinat areal yang di-overlay ke peta kehutanan, lokasi pabrik jelas-jelas masih berstatus HPK. Sementara Pemerintah Kabupaten Kuantan Singingi belum melakukan tindakan tegas.

    Ia mendapat informasi jika pabrik belum mengantongi izin prinsip. Apalagi izin teknis terkait kegiatan pengolahan hasil perkebunan Kelapa Sawit.

    "Seharusnya, status lahan clean clear dulu dari kawasan hutan. Ada mekanisme pelepasan kawasan hutan menjadi Areal Peruntukan Lain (APL). Barulah bisa izin berusaha diurus. Ini malah pabrik dibangun dulu tanpa izin pelepasan," ulasnya.

    Jackson mencontohkan pengurusan Sertifikat Hak Milik (SHM) dalam kawasan hutan. SHM tidak dapat diterbitkan sebelum tanah dilepaskan dari kawasan hutan dan ditetapkan menjadi APL.

    Begitupun dalam pengurusan izin PMKS, aspek legalitas yang paling dasar mesti dipenuhi lebih dahulu. Tanpa itu, perizinan teknis tidak dapat diproses sama sekali.

    Ia mempertanyakan fungsi pengawasan yang diduga tidak dijalankan pihak eksekutif. Pembangunan kontruksi pabrik selama berbulan-bulan dapat berjalan sampai rampung, tanpa adanya tindakan.

    Pembangunan mestinya dicegah dengan alasan penegakan hukum. Bahkan penegak hukum dapat menindak kegiatan dalam kawasan itu secara pidana. Dalam hal ini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KemenLHK) bersama Kepolisian.

    "Pemerintah tidak bisa hanya beralasan demi investasi. Tetapi mengesampingkan legalitas dasar yakni status lahan, kesesuaian dengan tata ruang, dan aspek lingkungan," tandas Jekson.

    Menurut dia, Bupati memang telah menyurati CV. Adifa Meka Hara terkait tindak lanjut perizinan berusaha. Surat tertanggal 13 Mei 2024 itu meminta perusahaan melakukan percepatan proses izin guna melengkapi persyaratan dasar.

    Jekson menyoroti maksud dan tujuan di balik surat itu. Ia menyatakan, Bupati mestinya sejak awal langsung berkoordinasi dengan KemenLHK dan Kepolisian untuk menindak pelanggaran hukum dalam kegiatan pabrik. 

    "Percepatan perizinan seperti apa yang mau dilakukan di Pemkab Kuansing. Seakan-akan ada syarat perizinan yang sedang diproses di Pemkab Kuansing yang belum lengkap dan perusahaan belum memenuhinya," ujarnya.

    Menurut dia, Pemkab Kuansing mestinya sejak awal berkoordinasi dengan KemenLHK untuk menertibkan aktivitas pembangunan pabrik.

     "Percepatan perizinan apa yang mau dilakukan di Pemkab Kuansing," ketusnya. 

    Ia menantang Pemkab Kuansing melakukan tindakan sesuai kewenangannya. Misalnya membatasi akses dari luar kawasan hutan ke lokasi pabrik yang menjadi kewenangan Pemkab Kuansing sesuai ketentuan berlaku. 

    "Kalau memang ilegal, langsung hentikan saja semua aktivitas pabrik. Bukan dengan semacam imbauan saja. Setidaknya memasang portal di jalan luar kawasan hutan agar kendaraan pabrik tidak bisa lalu lalang," pungkasnya.